Jumat, 06 April 2012

Si Cantik Berbingkai “Coklat”




Si Cantik Berbingkai “Coklat”

Badanku rasanya membeku terdiam dan terpaku. Wanita itu tepat berada di depanku, tersenyum dan menyapa semua yang berada di sekelilingnya. Jantungku rasanya bisa saja copot dan berhenti berdetak, tetapi entah mengapa rasanya aku bahagia hanya melihatnya dalam beberapa detik. Itulah yang aku suka, dia cantik dan ramah. Dia tidak pernah sombong kepada siapapun, mungkin menurutnya apa yang bisa ia sombongkan? Toh dia manusia biasa, bukan malaikat cantik. Memang dia tak begitu cantik di bandingkan dengan teman-temannya yang cantik bah model majalah remaja, tapi tetap saja menurutku dia cantik. Senyumnya, matanya, gaya berpakaian, bentuk tubuhnya, kesederhanaannya, bahkan dia terlihat sangat cantik saat memakai jilbab coklat.
Memang setiap wanita yang turun ke bumi dan beragama islam telah di kodratkan memakai jilbab untuk menutupi auratnya. Tetapi wanita jaman sekarang tidak mungkin mau mengenakan jilbab karena akan menjutupi keindahannya. Aku suka wanita berjilbab. Sangat anggun dan menambah nilai kecantikannya. Akupun menyukainya saat ia mengenakan jilbab coklat. Entah mengapa, bukan karena warna itu kesukaanku tetapi dia terlihat sangat manis. Jilbabnya seperti bingkai yang sangat pas, indah dan mempercantik isinya. Bila dalam album foto terdapat bingkai yang indah maka itulah dia. Mungkin, tak pernah aku melihatnya bersedih, karena dia sangat periang atau mungkin dia bisa menyembunyikan perasaannya yang sedang terluka dengan senyumannya.
Dia seperti mahnet, yang kapan saja dapat menarik perasaanku menjadi lebih baik saat melihatnya. Saat berada di kampus pun, dialah penyemangat dalam menjalani rutinitasku. Ingin rasanya menyapanya kapanpun waktu berputar, tetapi saat melihatnya saja berada tepat di depanku rasanya aku ingin mati. Mungkin saat aku memutuskan nadikupun aku tak sadar, ini rasanya sangat berlebihan. Tetapi, bila tuhan menakdirkannya untukku, pasti aku akan menjaganya dengan baik. Bahkan sangat baik. Untuk membayangkannya saja aku sangat bahagia.

Ingin rasanya membuatkannya surat cinta atau apapun yang bisa membuatnya tau bahwa aku memang ada. Aku bukan bayangan yang memuja, tapi aku memang nyata. Apakah itu terlalu konyol? Rasa suka memang konyol bahkan tak bisa digambarkan dengan logika. Aku berusaha mendekatinya walau hanya melalui pesan singkat. Dengan cara itulah aku bisa sedikit lebih dekat dengannya. Tetapi tak jarang dia selalu lupa untuk membalas pesanku, apa saja yang ia lakukan tak bisakah membalas pesanku walau hanya  sebentar?perasaanku pun bertanya-tanya. Itu simple baginya, tetapi tak sesimple perasaanku menunggu balasannya.
Rasa itu hingga saat ini masih sama, sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya di Kampus. Pertama kali aku melihatnya dia sangat pucat, entah mengapa mungkin ia lelah mengikuti kegiatan yang menyita waktunya. Langit pun seakan mendung saat aku melihatnya murung. Ingin rasanya aku sekedar mendekat dan membantunya. Tetapi bagaimana bisa, saat ia berada di dekatku pasti aku sangat takut. Aku takut semua yang aku lakukan akan membuatnya tidak suka, pergi bahkan menjauh dari pandanganku. Aku benar-benar takut. Saat ini aku hanya dapat melihatnya dari jarak jauh, tetapi dia sangat dekat dihatiku. Apa mungkin tuhan menakdirkan aku hanya dapat memujanya? Aku tak tau. Yang aku tau, aku menyukainya. Aku hanya ingin selalu bersamanya dalam bentuk nyata. Aturlah tuhan, seperti apa yang aku inginkan.

Cerita ini berdasarkan kisah dari “Tea” salah satu mahasiswa DKV Unpas 2011

Hanya Kata Sempurna


Hanya Kata Sempurna

Indah . Dia memang membuatku selalu terpesona olehnya. Ketika melihat dia tersenyum, senyumannya melemahkan nadiku. She so beautiful. Aku menyadari aku tak mungkin bisa dengannya. Siapa yang mau denganku? tidak mungkin ada. Selalu saja aku mencoba menatapnya dalam-dalam. Tak ada goresan sedikitpun yang merubah pandanganku tentangnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang terucap hanya ... sempurna.
***
Selalu saja aku terdiam di kursi taman. Sendiri bahkan tanpa teman. Tetapi ini yang menyenangkan, ini tempat sempurna untuk memperhatikannya. Tepat jam 13.11 dia pun keluar dari kelasnya. Alhasil dia membuatku terbujur kaku menatapnya. Lagi-lagi begitu. Serasa terhipnotis. Rasanya aneh, tetapi pernah tidak merasakan saat melihat orang yang benar-benar kita sukai berada tepat di depan mata kita? Benar,  jantung berdenyut begitu kencang, mata tak sekejappun berkedip bahkan pita suara terasa tertekan. Sempurnaaaaaaa. Itu yang saat ini ku rasakan. Hanya dia yang membuatku tak henti-hentinya menunggu untuk sekali saja menatapnya. Selalu sama, saat dia berjalan dari kelasnya pun aku selalu membuntutinya. Berjalan perlahan, memperhatikan dengan seksama, dan membawa kamera kesayanganku. Setiap yang dia lakukan semunya terpotret di kameraku. Seperti mata-mata. Tetapi memang ini yang selalu aku lakukan. Karena dia membuatku seakan sempurna.
Dia sempurna. Matanya yang berwarna hitam membuat dia terlihat manis. Semua yang dia lakukan selalu membuatku kagum. Wanita yang kuat. Bahkan sangat kuat. Semua cobaan tak henti-hentinya menghampiri. Dari hal yang kecil bahkan besar. Aku tak yakin, mungkin kalau aku jadi dia aku tak akan sanggup. Tapi apa yang dia lakukan ? hanya tersenyum. Sungguh, dia membuatku semakin kagum. Tak pernah ia lupakan untuk bertemu tuhannya, bahkan pertama kali aku bertemu dengannya tepat berpapasan di depan Mesjid. Tempat yang jarang di kunjungi anak jaman sekarang. Kebanyakan anak jaman sekarang mereka tak tahu bagaimana harus benar-benar menyadari semua kuasa tuhan.  Aku akui, aku pun begitu. Tapi, dia berbeda. Semua orang yang melihatnya pertama kali pasti sama denganku. Waktu seakan terhenti ketika melihatnya, terasa hanya ada aku dan dia. Tapi aku tau dia tak pernah banyak bicara. Sifatnya yang sangat pendiam itu membuat aku semakin penasaran. Banyak sekali omongan orang tentangnya, dari hal baik hingga buruk. Tetapi aku pun tau, dia memang baik. Aku tak pernah pedulikan dahulu ia seperti apa, tetapi proses dimana ia berubah menjadi lebih baik. Manusia tak ada yang sempurna. Yang sempurna itu, apabila seseorang telah mengetahui kesalahan yang telah ia lakukan dan berani untuk menjadi sesuatu yang baru. Proses perubahan yang paling terpenting. Tidak salahkan aku mengatakan dia wanita yang kuat? Karena ia sangat kuat. Sempurna.
Ini pertama kalinya aku berbincang bersamanya. Tepat saat aku membantunya membersihkan perpus. Aku pun heran, mengapa dia mau untuk membantu ibu penjaga perpus? Lalu masih seakan terniang dalam fikiranku. “hai” ucapnya sambil tersenyum. Aku pun sangat kaget. Ini pertama kalinya ia menyapaku. “hai, namaku Ario” ucapku dengan kikuk. Tak ada yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Ini mungkin jadi hari terindah yang ku rasakan. Dengan kikuk aku pun mencoba untuk mengobrol dengannya. Akhirnya, saat ini aku mengetahui namanya. Kerren. Tak banyak kata-kata yang ia ucapkan hanya tersenyum. Dia memang pendiam dan membuatku semakin penasaran.  Aku yakin dia memang wanita yang sangat baik. Lihat saya, tak banyak nilai nihil yang aku rasakan padanya. Selain cantik, sifatnya yang penyayang, selalu mencintai tuhannya, dan tegar dalam cobaan yang membuatku kagum. Tak banyak kata yang terucap dari mulutku, dia sempurna dimataku.
***
Ketika aku berjalan di jalan dekat toko kaset tua, terdengar suara seorang penyanyi yang mendendangkan lagunya. Aku pun tersenyum, benar yang dia katakan. When I see your face, There's not a thing that I would change, Cause you're amazing, Just the way you are. Lagu Bruno Mars itu dapat menggambarkan yang aku rasakan saat melihatnya. Ia sangat membuatku kagum. Inginku mengungkapkan sebuah perasaan, alhasil hanya ada rasa takut yang ku rasakan. Bukan aku takut untuk di tolak olehnya, hal yang bisa membuatku takut hanyalah aku takut akan sebuah kenyataan yang akan ku terima saat ia menjauh disebabkan perasaan ini. Ini yang kutakutkan. Bukan ku tak yakin tetapi aku tak bisa mengingkari bahwa aku benar-benar takut untuk ditinggalkannya. Mungkin, aku ditakdirkan hanya untuk mengagumi keindahannya.
Lihat ! dia sedang bercengkrama dengan teman-temannya, sepertinya dia tak sepenuhnya mempunyai sifat pendiam tetapi dia hanya lebih berhati-hati memilih teman. Aku tau kenapa ? itu karena banyak teman didekatnya yang seakan-akan menusuk dia dari belakang. Tuhan selalu mempunyai cara bagaimana memberi cobaan untuk umatnya agar mereka lebih mencintainya. Dan tuhan tepat memberikan cobaan untuknya, dia semakin mencintainya. Pernah sekali dalam hidupku, aku melihatnya menangis. Aku tak kuasa melihat deraian air mata yang menetes perlahan melewati pipinya. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, ingin rasanya aku menjadi sandaran dirinya ketika dia menangis. Tetapi mana mungkin, melihatnya saja aku sudah takut. Semoga tuhan tau bagaimana membuatnya selalu bahagia bersamanya.
Ini hayalan tingkat tinggiku. Aku selalu membayangkan bahwa suatu saat nanti dia akan menyadari bahwa aku tulus menyanginya. Tulus seperti ia tulus mencintai tuhannya. Ketika rasa ini tak pernah bisa lepas untuknya, aku hanya bisa menyadari bahwa aku hanya seorang yang tak pantas dan tak sanggup dengannya. Aku tak sanggup karena aku tak mau lepas dengannya. Itu hanya sebuah hayalan. Mana mungkin akan terjadi. Pernah ku berfikir apa perasaan ini hanya aku yang rasa? yah, sepertinya begitu. Sekali lagi aku harus sangat menyadari aku tak akan pernah pantas mendampinginya. Mungkin kesempatan takan pernah berpihak padaku. Hanya kata sempurna yang pantas menggambarkan semuanya.
Tetapi takdir berkata lain. Semua yang aku pikirkan akan berubah saat ini. Mungkin tidak akan secara drastis tapi inilah saatnya. Aku melihatnya lagi. Berdiri dekat pohon besar memegang payung. Dia cantik. Aku hanya tersenyum dan ingin rasanya menghampirinya. Selalu saja aku beperang dengan perasaanku. Ingin mendekat atau hanya diam disini. Banyak hal yang aku pikirkan dari mulai apa yang harus aku katakan, apa yang akan aku katakan, dan bagaimana cara memulai pembicaraan. Detik perdetik seakan terasa lebih cepat lagi bergerak. Aku tak mau membuang kesempatan ini, kesempatan dimana tak pernah datang untuk ke dua kalinya. Dan akhirnya akupun mencoba mendekatinya. Inilah takdir dan sempurnaaaaaa.
***
07 April 2011

Aku Bukan Pendusta !!!




Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Aaah matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas.
Bruuuuuuug ! dan ... sekali lagi itu hanya mimpi.
Alarm ku berbunyi. Tepat jam 07.15. Dan selalu saja telat untuk pergi ke kampus. “Ahhh , sial ! bagaimana bisa aku terbangun saat detik-detik terakhir? Sungguh sangat bodoh !” ucapku sambil memeluk guling. Aku pun berlari memasuki toilet. Tak pernah aku seriang ini. Yah, bagaimana tidak riang. Mimpi itu sangat indah. Aku bertemu pria tengil itu didalam mimpi. Ah, sungguh tak ku duga. Tetapi aku bahagia. Syalalalallala (bernyanyi).
Alkina Mayore. Dosen memanggil namaku dengan sangat kerasnya. “Alkina !!! banguuuun , keluar dari kelasku !” ucap si Botak Tua. Lagi-lagi aku dikeluarkan dari kelas karena aku tertidur saat pelajaran berlangsung. Ahhh , sial. Tapi aku mencoba tersenyum. Aku pun memutuskan untuk pergi kekantin karena aku sangat kehausan. Ketika aku memegang sebotol air mineral. Detakku pun berdetak lagi. Aku tau. Bahkan aku sangat tau siapa yang berada tepat di sampingku. Aldiano Ferdian. Si tengil yang satu bulan terakhir mendatangi mimpiku. Dari ujung kaki sampai kepala aku selalu tak pernah bisa tak mengingatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku pun melirik padanya dan tersenyum. “hai ...” ucapku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan aku hanya menatapnya walaupun saat itu ia sudah pergi.
Aku menyukainya saat usiaku masih sangat kecil. Tepat 8 juni 1997 saat menginjak usiaku 6 tahun. Aku bertemunya saat kami mendaftar ke SD yang sama. Sungguh sangat konyol saat itu aku menatapnya tajam. Seperti seseorang yang tertarik akan sesuatu hal. Padahal saat itu aku baru berumur 6 tahun. Aku sangat senang saat aku bertemu dengannya. Ia memang sangat tampan saat itu. Bahkan tak pernah ku sangka sudah selama 13 tahun aku menyimpan perasaan ini padanya. Saat ini, perasaan itu masih sangat sama. Tetapi ia mungkin tak pernah merasakan yang aku rasakan.
Alkina .. alkina ! selalu saja aku tak perdulikan orang lain menyapaku. Aku sangat bosan. Mengapa pria hidung belang yang kegenitan ini menyapaku terus menerus. Aku harap, suatu saat nanti pria tengil itu yang memanggilku. Dan aku tak akan pernah menolak untuk tak membalikkan kepalaku sekedar melihatnya. Tetapi, saat ini. Fansku di kampuslah yang selalu tebar pesona yang berusaha mendekatiku. Aku tak pernah hiraukan.
Dianka, Rica, dan Alunka. Mereka teman terbaikku. Dari mereka aku di berikan banyak hal yang penting bahkan aku tak pernah aku tau. Mereka yang selalu menguatkan langkahku. Karena aku tak menyukai menjadi seorang dokter. Aku harus mengambil jurusan kampus yang aku tak pernah sukai. Bagaimana bisa, aku yang takut darah ini menjadi dokter. Kalau saja, aku bisa memilih. Aku ingin menjadi seorang penulis. Karena dari tulisanlah aku dapat menceritakan hal yang selalu membuat hari-hariku berwarna. Bahkan seperti buku gambar yang selalu aku gambar dan warnai sesuka hatiku. Tapi itu tak mungkin, karena ayah meninginkan ku untuk bekerja mengabdi pada masyarakat sebagai dokter. Intu keinginan ayah bukan aku.
Orang mengatakan aku sangat periang. Dan seperti hidup tanpa sebuah beban. Iyaaa... mungkin mereka tak mengetaui bahwa aku telah berdusta. Aku berdusta pada mereka dan pada diriku sendiri. Aku tak pernah merasa nyaman karena banyak hal yang aku tak sukai. Bahkan aku harus pura-pura bahagia sedangkan aku tak pernah bahagia. Aku harus pura-pura tersenyum padahal aku tak ingin tersenyum. Dan aku harus berpura-pura menyukai padahal aku tak pernah menyukai. Hanya aku mencoba terlihat bahagia agar mereka tak merasa tak bahagia. Hanya aku mencoba tersenyum agar mereka pun tersenyum. Hanya aku mencoba menyukai padahal aku tak menyukai sedikitpun. Aku memang pendusta yang ulung.
Awan gelap saat ini mencoba menutupi lapangan langit. Lagit yang cerah seakan tertutup awan gelap. Ini pasti akan terjadi hujan. Sungguh tak pernah aku nyaman untuk kuliah dan menuntut ilmu. Ilmu yang ada hanya menumpuk di fikiran yang tak mau berkembang ke luar. Mandet dan mampet. Sungguh sangat sulit. Untung saja, ada pria tengil itu. Hanya karena dia lah aku mencoba kuat berada di lingkaran ini.
Treeeeet ! treeeeeeet !!! Bunyi keras dari mobil menyentakku.
Yah, ini pun membosankan. Aku harus bertemu dengan pacarku. Rizki Predio anak konglomerat batu bara. Bahkan ia akan menjadi pewaris dari perusahaan terbesar batu bara. Mana aku peduli ! mau dia anak presiden pun aku tak peduli. Tapi , ayah sangat peduli. Ia memaksaku untuk berpacaran dengan kiki. Aku tak pernah bisa menolak. Semua yang dikatakan ayah selalu aku ikuti. Sesaat saat di tinggalkan bunda, hanya ayahlah yang aku punya. Tetapi, ingin rasanya mencekik pikiranku. Aku tak bisa menahan kejenuhan ini lebih lama. Pertama, aku harus masuk jurusan kedokteran bahkan aku tak pernah menyukainya. Yang kedua aku harus berpacaran dengan Riski salah satu anak teman bisnis ayah. Dan yang ketiga , sampai saat ini aku tak pernah tau.
Hari ini, acara kebudayaan dilorong Kampus. Aku sangat menunggu acara ini. Banyak hal yang menarik yang akan aku dapat. Bukan karena aku menyukai acara itu. Tetapi karena Aldino si pria tengil sebagai ketua BEM yang akan memberikan sambutan. Aku akan banyak mendapatkan fotonya dan mengamatinya lebih jelas. Ini menyenangkan. Aku selalu saja bertahan memendam perasaanku padanya. Bahkan aku kuat saat menumpuk rasa hingga 13 tahun lamanya.
Aku tersenyum menatapnya. Hanya pria itu yang membut aku bahagia siang dan malam. Bahkan aku tak ingin tertidur jika aku mampu. Aku terdiam sejenak mendengarkannya berpidato. Seperti pidato seorang raja yang di dengarkan rakyat-rakyatnya. Tetapi kali ini aku tak seperti biasa. Ada suatu hal yang ia ucapkan menyentuhku. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang tak menyukai apa yang ia tak suka katakanlah. Sesungguhnya itu lebih baik dari sekedar berpura-bura dan berbuat dusta.
Aku benar benar tersentak. Pikiranku bercabang. Bukankah aku pendusta yang hebat. Sangat hebat ! Semua jalan hiduku seperti sebuah drama belaka yang teratur dan terarah dengan baik. Apa aku harus menemui ayah dan mengatakan aku tak suka kedokteran aku hanya suka sastra. Aku harus pula mengatakan bahwa aku tak suka pacarku yang sebagai boneka ayah agar mempertahankan kekerabatan. Dan aku pun harus mengatakan bahwa aku tak suka kedustaan ini didepan teman-temanku. Dan aku pendusta yang sangat hebat saat aku menyembunyikan perasaanku pada Aldino. Tak pernah aku memutuskan semua keinginanku sendiri. Hingga saat ini, aku memang seorang pendusta.
Setelah berhari-hari aku memikirkan dengan sangat panjang. Aku pun memang harus tetap berjalan. Ku ketuk dan membuka dengan perlahan pintu kamar ayah. “Ayaaah...” ucapku sambil kikuk. Ayah hanya diam dan menghampiri. Aku tak kuasa membendung bendungan air mata saat aku menatap ayah. “Ayah, aku tak suka ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi seorang sastrawan” ujarku menunduk. Ayah terlihat sangat marah. “Mau jadi apa kamu nanti Alkina? Mau jadi pekerja seni yang hanya cukup dengan gaji pas pasan?” bentak ayah dengan marah. Aku hanya menangis. “Ayah , aku sudah sangat lelah dengan semua yang ayah desain untukku. Aku tak ingin menjadi dokter. Aku tak ingin berpacaran dengan Rizki. Bahkan aku tak ingin mengikuti perintah ayah lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk memilih. Jangan jadikan aku boneka seperti yang ayah mau. Aku anakmu yah, aku juga punya hak” jawabku dengan nada keras. Ayah mendekat. Sudah aku tau apa jawaban ayah. Pasti ia ingin menamparku dan mengusirku dari kamarnya. Tetapi, semua yang aku pikirkan itu salah. Ayah memelukku dan meminta maaf atas semua keegoisannya. Ayah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Tak pernah aku rasakan kehangatan ini. Bahkan saat itu umurku 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bunda.  
Aku bahagia. Selalu saja dia membantuku untuk selalu kuat. Bahkan kekuatan super yang tak pernah ku sangka untuk menentang ayah. Satu hal yang belum aku bereskan yaitu aku berdusta tak mengatakan yang sebenarnya. Aku harus menemui pria tengil itu. Dan mengatakan bahwa aku benar-benar menyukainya. Selama 13 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan aku benar-benar menyukainya.
Aldino. Tunggu ! teriakku dengan sangat kerasnya. Ia memutarkan badannya dan berbalik. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku gemetar! Lalu, aku pun mencoba untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia pun tersenyum. lalu mengatakan, bahwa ia pun sangat menyukaiku. Aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas. Ia mendekat dan mencium keningku. Dan kali ini, ini nyata. Aku bukan pendusta.



Aku Bukan Mereka!


Aku Bukan Mereka!

            Mereka bilang aku kokoh? Akuilah aku memang kokoh ! padahal bagaimana aku bisa kokoh sementara aku menopang bebannya bumi. Berat sangat berat. Mereka bilang aku indah? Akuilah aku memang indah ! bagaimana bisa? mana mungkin aku indah padahal aku ini sangat kotor dan berlumut. Mereka bilang aku hebat? Akuilah aku memang hebat! Bagaimana bisa, sudah ku katakan mana bisa. Karena aku sangat rapuh. Dan sekali lagi, mereka bilang aku pintar? Akuilah aku pintar! Bagaiman bisa aku begitu pintar, sedangkan aku tak berakar, tak bercabang dan tak bertopang.
        Kala bumi menginjak ku, Aku seakan berdiri kokoh padahal aku sangat rapuh. Aku akui mereka memang kokoh. Katakanlah pada mereka, aku tak sekuat mereka. Mereka kokoh. Menopang dengan sangat tegak walaupun aku tak tahu apa isi mereka. Kala akarku merontok, aku memang tak kuat. Selalu saja, aku merontok saat aku tak percaya kuatku. Kala berkata aku indah, aku tahu aku tak indah bahkan aku sangat kotor.
Aku akui mereka memang indah. Bukan aku yang indah. Aku tak seindah mereka yang tampak dari belahan manapun akan terlihat sempurna. Katakan pada mereka, aku ini tak indah. Mereka lah yang terindah. Kala aku berdiri, aku tak seperti mereka. Yang tegak dan yakin atas dirinya berdiri setegak tiang bahkan tanpa menunduk sekalipun. Katakan pada mereka aku ini tak tegak, aku bungkuk.
Aku akui mereka memang hebat. Segala yang aku lakukan, mereka bisa lakukan. Aku tak akan bisa sehebat mereka. Mereka yang terlihat semburna dan sangat hebat. Hal yang tersulit bagiku pun mereka dapat dengan mudah. Perjuanganku pun mereka dapat dengan sangat mudah. Mereka tak perlu melakukan apapun, karena memang mereka terlahir hebat. Apapun yang mereka lakukan pasti mereka dapat. Mereka memang hebat. Bahkan benar-benar hebat.
Aku akui mereka pintar. Bukan aku yang pintar. Emang itu yang harus aku akui. Aku bukan mereka yang selalu melakukan cara licik apapun untuk menjadikan kemenangan. Bahkan aku tak secantik mereka. Yang kala sang cantiknya datang bisa mereka kalahkan dengan wajah untuk mendapatkan apapun. Bahkan aku tak selicik mereka, karena kecantikannya dapat merubah dunia tahluk padanya. Aku bukan mereka. Karena aku memang bukan mereka.
        Aku memang tak seperti mereka. Aku selalu rapuh kala bumi berada tepat di mataku. Aku memang tak seperti mereka. Aku memang tak seperti mereka mempunyai akar yang kuat. Aku selalu pincang atas akarku ini. Aku memang tak seperti mereka. Aku memang tak seperti mereka, indah. Bahkan mereka yakin atas keindahannya dan melakukan berbagai cara yang kotor. Aku memang tak tegak seperti mereka karena aku tak ingin angkuh yang selalu tegak tanpa menunduk. Aku memang tak seperti mereka. Bahkan sampai saat ini, aku dan mereka berbeda dan takkan pernah sama. Aku bukan mereka.


Dibatas Waktu




Ini yang selalu aku takutkan, kehilangan seseorang yang paling berharga didalam hidupku. Aku benar-benar takut.  Sungguh aku sangat takut. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, hanya dia. Dia yang selalu menemaniku siang dan malam. Dia yang selalu mendengarkan apa yang tak bisa di dengar. Dia selalu menguatkan kala aku tak bisa kuat. Entah bagaimana diriku saat kehilangannya. Aku tak pernah kehilangannya. Dia selalu berada di sisiku, bahkan tidak lepas dari memori otakku. Aku takut. Aku takut menunggu waktu. Waktu yang dapat membatasi aku dengannya. Aku benar-benar takut.
Kau. Aku tak percaya kau, kau bukan tuhan! Bahkan hidupnya tak bisa ditakdirkan mu. Kau juga bukan utusan tuhan, kau tak akan pernah bisa mengambilnya dariku. Tak akan pernah bisa. Hatiku hancur bahkan akan lebih hancur saat aku kehilangannya. Dia terlalu kecil untuk merasakan ini, ini tak adil. Usianya baru 12 tahun, tetapi hidupnya terhitung berjalannya detik. Siapa kau? Coba katakan,apa yang harus aku lakukan? Apapun yang bisa aku lakukan, aku akan lakukan. Katakan apa yang harus aku lakukan!
Kala waktu melangkah detik demi detik, aku tak sanggup. Rasanya biarkan saja aku yang mengganti hidupnya, aku yang akan menggantikan sakitnya dan aku pula yang menunggu waktu. Aku bisa, aku yang akan gantikannya. Aku tak ingin dia merasakan ini. Hidup dalam batasan waktu, hidup dikepung oleh waktu dan hidup bertakdirkan waktu. Aku tak ingin kehilangannya, hanya dia yang aku punya. Aku tak sanggup melepasnya dalam hitungan waktu, aku tak akan pernah sanggup.
Ini saatnya. Saat waktu yang ditakdirkan olehnya. Aku ingin menjerit, tapi untuk apa? Aku ingin menangis, tapi untuk apa? Aku ingin marah, tapi untuk apa? Untuk apa? Untuk apa semua ini. Aku tak bisa menyentuhnya lagi, aku tak bisa disisinya lagi bahkan aku tak bisa menemaninya siang dan malam. Bahkan bayangannya pun tak bisa aku sentuh. Dia akan hilang. Hilang terbawa waktu. Apa yang harus aku lakukan? Kau. Beritahu aku apa yang harus aku perbuat. Akan ku tukar hidupku untuknya, apa itu bisa? Akan ku tukar hartaku untuknya, apa bisa? Akan ku tukar segala yang aku bisa untuknya, apa bisa? Apa bisa aku tukar? Aku tak butuh segalanya. Aku hanya butuh dia.
Aku tak ingin hidup dibatasi waktu. Waktu yang dapat memisahkan aku dengannya. Waktu inilah yang dapat menghapus dirinya. Apa harus aku tanyakan tuhan? Bisakah ia menukar waktuku dengannya atau ia perpanjang saja batas waktunya. Aku mohon tuhan. Aku tak suka dibatasi. Apalagi batasan antara aku dengannya. Antara bumi dan langit. Antara alam ku dan alamnya. Kau ambil saja semuanya, tapi jangan ambil dia. Aku mohon tuhan. Aku mohon padamu, kepada kau dan kepadanya.
Berbataaas waktu...

Pebruari 2012