Sabtu, 30 April 2011

Darah di Titik Akhir


Titik awal. Darah ini saksiku. Saat aku lahir dan saat aku mati. Gumpalan yang kental bersatu dengan nadiku. Di tubuhku terdapat darah. Darah yang suci. Darah yang mengalir terus menerus. Dan darah yang diciptakan oleh tuhan dari campuran cinta mereka. Darah ini saksi. Saat awal, tengah, dan akhir. Saat hidup dan mati.
Darah itu merah. Gambaran ke kuatanku. Gambaran ke hebatanku. Dan gambaran tuhan untukku. Merah itu berani. Seperti halnya aku mengejar hidupku. Aku memang pemberani. Karena aku terlahir dari darah mereka. Tak pernah ku melupakannya. Bahkan, kekuatanku hanya akan tunduk pada mereka. Darah ini hasil mereka. Karena darah ini, aku ada.
Saat darah di titik tengah. Darah? Hela nafasku tak beraturan. Mataku diam, tak melirik. Bahkan aku hanya melihat darah. Ku rasakan detakku mengerut. Tak kencang. Tak seperti yang selalu ku rasakan. Darah ini terus mengalir. Banyak bayangan hitam yang akhirnya menutupi cela mataku. Pekat. Hanya si hitam pekat yang terlihat. Ku dengar suara semu dalam sekitar. Hanya saja, aku tak dapat bangun. Aku tau, darah ini hilang. Aku berdarah !
Nadiku mengintip. Aku tau aku memang berdarah. Aku tak dapat menggapai nadiku. Bahkan aku hanya terpaku terbaring. Saat nanti aku hilang. Aku tak bernyawa. Seolah aku mayat belaka. Aku belum mati, walau aku berdarah. Terniang satu kata dari rolong telinga. Darah. Aku banyak menghilangkan darah. Aku akan hilang karena aku kehilangan darah. Saat ini aku belum hilang, mungkin beberapa menit lagi atau terhitung detik. Bertahan mungkin takkan bisa. Aku sudah puas hidup dengan darah. Aku tau bahwa aku butuh darah. Bahkan darah ketika ia melahirkanku. Darah mereka. Ketika ini jalanku, aku akan pasrah.
Darah itu cair. Darah akan mengalir. Darah memang mengalir! Tak pernah ku merasakan untuk menghentikan alirannya. Dunia ini memang mengalir apa adanya karena dan atas ijinnya. Hidupku pun terus mengalir. Seperti halnya air. Saat aku berserah padanya. Aku tau, darah itu miliknya. Akan ku kembalikan suatu saat nanti. Mungkin saat aku siap melepaskannya. Saat ini mungkin saatnya.
Darah di titik akhir. Aku menghela nafas. Darahku akan habis. Sama seperti berhentinya detakku. Darah ini darah terakhirku. Titik terakhir. Tak pernah ku merasa menyesal. Walau saat ini darah terakhir, akan ku berikan yang terbaik untuknya. Dan untuk mereka. Akan ku kembalikan darahku. Aku hanya meminjam darah mereka. Sama halnya aku meminjam dunia ini. Saatnya darah akan habis, aku akan terbaring tanpa darah. Ini darah terakhirku. Ku serahkan dan ku tutup darahku.

Jumat, 29 April 2011

aku bukan PENDUSTA !!!


Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Aaah matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas.
Bruuuuuuug ! dan ... sekali lagi itu hanya mimpi.
Alarm ku berbunyi. Tepat jam 07.15. Dan selalu saja telat untuk pergi ke kampus. “Ahhh , sial ! bagaimana bisa aku terbangun saat detik-detik terakhir? Sungguh sangat bodoh !” ucapku sambil memeluk guling. Aku pun berlari memasuki toilet. Tak pernah aku seriang ini. Yah, bagaimana tidak riang. Mimpi itu sangat indah. Aku bertemu pria tengil itu didalam mimpi. Ah, sungguh tak ku duga. Tetapi aku bahagia. Syalalalallala (bernyanyi).
Alkina Mayore. Dosen memanggil namaku dengan sangat kerasnya. “Alkina !!! banguuuun , keluar dari kelasku !” ucap si Botak Tua. Lagi-lagi aku dikeluarkan dari kelas karena aku tertidur saat pelajaran berlangsung. Ahhh , sial. Tapi aku mencoba tersenyum. Aku pun memutuskan untuk pergi kekantin karena aku sangat kehausan. Ketika aku memegang sebotol air mineral. Detakku pun berdetak lagi. Aku tau. Bahkan aku sangat tau siapa yang berada tepat di sampingku. Aldiano Ferdian. Si tengil yang satu bulan terakhir mendatangi mimpiku. Dari ujung kaki sampai kepala aku selalu tak pernah bisa tak mengingatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku pun melirik padanya dan tersenyum. “hai ...” ucapku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan aku hanya menatapnya walaupun saat itu ia sudah pergi.
Aku menyukainya saat usiaku masih sangat kecil. Tepat 8 juni 1997 saat menginjak usiaku 6 tahun. Aku bertemunya saat kami mendaftar ke SD yang sama. Sungguh sangat konyol saat itu aku menatapnya tajam. Seperti seseorang yang tertarik akan sesuatu hal. Padahal saat itu aku baru berumur 6 tahun. Aku sangat senang saat aku bertemu dengannya. Ia memang sangat tampan saat itu. Bahkan tak pernah ku sangka sudah selama 13 tahun aku menyimpan perasaan ini padanya. Saat ini, perasaan itu masih sangat sama. Tetapi ia mungkin tak pernah merasakan yang aku rasakan.
Alkina .. alkina ! selalu saja aku tak perdulikan orang lain menyapaku. Aku sangat bosan. Mengapa pria hidung belang yang kegenitan ini menyapaku terus menerus. Aku harap, suatu saat nanti pria tengil itu yang memanggilku. Dan aku tak akan pernah menolak untuk tak membalikkan kepalaku sekedar melihatnya. Tetapi, saat ini. Fansku di kampuslah yang selalu tebar pesona yang berusaha mendekatiku. Aku tak pernah hiraukan.
Dianka, Rica, dan Alunka. Mereka teman terbaikku. Dari mereka aku di berikan banyak hal yang penting bahkan aku tak pernah aku tau. Mereka yang selalu menguatkan langkahku. Karena aku tak menyukai menjadi seorang dokter. Aku harus mengambil jurusan kampus yang aku tak pernah sukai. Bagaimana bisa, aku yang takut darah ini menjadi dokter. Kalau saja, aku bisa memilih. Aku ingin menjadi seorang penulis. Karena dari tulisanlah aku dapat menceritakan hal yang selalu membuat hari-hariku berwarna. Bahkan seperti buku gambar yang selalu aku gambar dan warnai sesuka hatiku. Tapi itu tak mungkin, karena ayah meninginkan ku untuk bekerja mengabdi pada masyarakat sebagai dokter. Intu keinginan ayah bukan aku.
Orang mengatakan aku sangat periang. Dan seperti hidup tanpa sebuah beban. Iyaaa... mungkin mereka tak mengetaui bahwa aku telah berdusta. Aku berdusta pada mereka dan pada diriku sendiri. Aku tak pernah merasa nyaman karena banyak hal yang aku tak sukai. Bahkan aku harus pura-pura bahagia sedangkan aku tak pernah bahagia. Aku harus pura-pura tersenyum padahal aku tak ingin tersenyum. Dan aku harus berpura-pura menyukai padahal aku tak pernah menyukai. Hanya aku mencoba terlihat bahagia agar mereka tak merasa tak bahagia. Hanya aku mencoba tersenyum agar mereka pun tersenyum. Hanya aku mencoba menyukai padahal aku tak menyukai sedikitpun. Aku memang pendusta yang ulung.
Awan gelap saat ini mencoba menutupi lapangan langit. Lagit yang cerah seakan tertutup awan gelap. Ini pasti akan terjadi hujan. Sungguh tak pernah aku nyaman untuk kuliah dan menuntut ilmu. Ilmu yang ada hanya menumpuk di fikiran yang tak mau berkembang ke luar. Mandet dan mampet. Sungguh sangat sulit. Untung saja, ada pria tengil itu. Hanya karena dia lah aku mencoba kuat berada di lingkaran ini.
Treeeeet ! treeeeeeet !!! Bunyi keras dari mobil menyentakku.
Yah, ini pun membosankan. Aku harus bertemu dengan pacarku. Rizki Predio anak konglomerat batu bara. Bahkan ia akan menjadi pewaris dari perusahaan terbesar batu bara. Mana aku peduli ! mau dia anak presiden pun aku tak peduli. Tapi , ayah sangat peduli. Ia memaksaku untuk berpacaran dengan kiki. Aku tak pernah bisa menolak. Semua yang dikatakan ayah selalu aku ikuti. Sesaat saat di tinggalkan bunda, hanya ayahlah yang aku punya. Tetapi, ingin rasanya mencekik pikiranku. Aku tak bisa menahan kejenuhan ini lebih lama. Pertama, aku harus masuk jurusan kedokteran bahkan aku tak pernah menyukainya. Yang kedua aku harus berpacaran dengan Riski salah satu anak teman bisnis ayah. Dan yang ketiga , sampai saat ini aku tak pernah tau.
Hari ini, acara kebudayaan dilorong Kampus. Aku sangat menunggu acara ini. Banyak hal yang menarik yang akan aku dapat. Bukan karena aku menyukai acara itu. Tetapi karena Aldino si pria tengil sebagai ketua BEM yang akan memberikan sambutan. Aku akan banyak mendapatkan fotonya dan mengamatinya lebih jelas. Ini menyenangkan. Aku selalu saja bertahan memendam perasaanku padanya. Bahkan aku kuat saat menumpuk rasa hingga 13 tahun lamanya.
Aku tersenyum menatapnya. Hanya pria itu yang membut aku bahagia siang dan malam. Bahkan aku tak ingin tertidur jika aku mampu. Aku terdiam sejenak mendengarkannya berpidato. Seperti pidato seorang raja yang di dengarkan rakyat-rakyatnya. Tetapi kali ini aku tak seperti biasa. Ada suatu hal yang ia ucapkan menyentuhku. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang tak menyukai apa yang ia tak suka katakanlah. Sesungguhnya itu lebih baik dari sekedar berpura-bura dan berbuat dusta.
Aku benar benar tersentak. Pikiranku bercabang. Bukankah aku pendusta yang hebat. Sangat hebat ! Semua jalan hiduku seperti sebuah drama belaka yang teratur dan terarah dengan baik. Apa aku harus menemui ayah dan mengatakan aku tak suka kedokteran aku hanya suka sastra. Aku harus pula mengatakan bahwa aku tak suka pacarku yang sebagai boneka ayah agar mempertahankan kekerabatan. Dan aku pun harus mengatakan bahwa aku tak suka kedustaan ini didepan teman-temanku. Dan aku pendusta yang sangat hebat saat aku menyembunyikan perasaanku pada Aldino. Tak pernah aku memutuskan semua keinginanku sendiri. Hingga saat ini, aku memang seorang pendusta.
Setelah berhari-hari aku memikirkan dengan sangat panjang. Aku pun memang harus tetap berjalan. Ku ketuk dan membuka dengan perlahan pintu kamar ayah. “Ayaaah...” ucapku sambil kikuk. Ayah hanya diam dan menghampiri. Aku tak kuasa membendung bendungan air mata saat aku menatap ayah. “Ayah, aku tak suka ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi seorang sastrawan” ujarku menunduk. Ayah terlihat sangat marah. “Mau jadi apa kamu nanti Alkina? Mau jadi pekerja seni yang hanya cukup dengan gaji pas pasan?” bentak ayah dengan marah. Aku hanya menangis. “Ayah , aku sudah sangat lelah dengan semua yang ayah desain untukku. Aku tak ingin menjadi dokter. Aku tak ingin berpacaran dengan Rizki. Bahkan aku tak ingin mengikuti perintah ayah lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk memilih. Jangan jadikan aku boneka seperti yang ayah mau. Aku anakmu yah, aku juga punya hak” jawabku dengan nada keras. Ayah mendekat. Sudah aku tau apa jawaban ayah. Pasti ia ingin menamparku dan mengusirku dari kamarnya. Tetapi, semua yang aku pikirkan itu salah. Ayah memelukku dan meminta maaf atas semua keegoisannya. Ayah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Tak pernah aku rasakan kehangatan ini. Bahkan saat itu umurku 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bunda.  
Aku bahagia. Selalu saja dia membantuku untuk selalu kuat. Bahkan kekuatan super yang tak pernah ku sangka untuk menentang ayah. Satu hal yang belum aku bereskan yaitu aku berdusta tak mengatakan yang sebenarnya. Aku harus menemui pria tengil itu. Dan mengatakan bahwa aku benar-benar menyukainya. Selama 13 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan aku benar-benar menyukainya.
Aldino. Tunggu ! teriakku dengan sangat kerasnya. Ia memutarkan badannya dan berbalik. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku gemetar! Lalu, aku pun mencoba untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia pun tersenyum. lalu mengatakan, bahwa ia pun sangat menyukaiku. Aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas. Ia mendekat dan mencium keningku. Dan kali ini, ini nyata. Aku bukan pendusta.



Aku Bukan Pendusta !!!


Aku Bukan Pendusta !!!

Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Aaah matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas.
Bruuuuuuug ! dan ... sekali lagi itu hanya mimpi.
Alarm ku berbunyi. Tepat jam 07.15. Dan selalu saja telat untuk pergi ke kampus. “Ahhh , sial ! bagaimana bisa aku terbangun saat detik-detik terakhir? Sungguh sangat bodoh !” ucapku sambil memeluk guling. Aku pun berlari memasuki toilet. Tak pernah aku seriang ini. Yah, bagaimana tidak riang. Mimpi itu sangat indah. Aku bertemu pria tengil itu didalam mimpi. Ah, sungguh tak ku duga. Tetapi aku bahagia. Syalalalallala (bernyanyi).
Alkina Mayore. Dosen memanggil namaku dengan sangat kerasnya. “Alkina !!! banguuuun , keluar dari kelasku !” ucap si Botak Tua. Lagi-lagi aku dikeluarkan dari kelas karena aku tertidur saat pelajaran berlangsung. Ahhh , sial. Tapi aku mencoba tersenyum. Aku pun memutuskan untuk pergi kekantin karena aku sangat kehausan. Ketika aku memegang sebotol air mineral. Detakku pun berdetak lagi. Aku tau. Bahkan aku sangat tau siapa yang berada tepat di sampingku. Aldiano Ferdian. Si tengil yang satu bulan terakhir mendatangi mimpiku. Dari ujung kaki sampai kepala aku selalu tak pernah bisa tak mengingatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku pun melirik padanya dan tersenyum. “hai ...” ucapku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan aku hanya menatapnya walaupun saat itu ia sudah pergi.
Aku menyukainya saat usiaku masih sangat kecil. Tepat 8 juni 1997 saat menginjak usiaku 6 tahun. Aku bertemunya saat kami mendaftar ke SD yang sama. Sungguh sangat konyol saat itu aku menatapnya tajam. Seperti seseorang yang tertarik akan sesuatu hal. Padahal saat itu aku baru berumur 6 tahun. Aku sangat senang saat aku bertemu dengannya. Ia memang sangat tampan saat itu. Bahkan tak pernah ku sangka sudah selama 13 tahun aku menyimpan perasaan ini padanya. Saat ini, perasaan itu masih sangat sama. Tetapi ia mungkin tak pernah merasakan yang aku rasakan.
Alkina .. alkina ! selalu saja aku tak perdulikan orang lain menyapaku. Aku sangat bosan. Mengapa pria hidung belang yang kegenitan ini menyapaku terus menerus. Aku harap, suatu saat nanti pria tengil itu yang memanggilku. Dan aku tak akan pernah menolak untuk tak membalikkan kepalaku sekedar melihatnya. Tetapi, saat ini. Fansku di kampuslah yang selalu tebar pesona yang berusaha mendekatiku. Aku tak pernah hiraukan.
Dianka, Rica, dan Alunka. Mereka teman terbaikku. Dari mereka aku di berikan banyak hal yang penting bahkan aku tak pernah aku tau. Mereka yang selalu menguatkan langkahku. Karena aku tak menyukai menjadi seorang dokter. Aku harus mengambil jurusan kampus yang aku tak pernah sukai. Bagaimana bisa, aku yang takut darah ini menjadi dokter. Kalau saja, aku bisa memilih. Aku ingin menjadi seorang penulis. Karena dari tulisanlah aku dapat menceritakan hal yang selalu membuat hari-hariku berwarna. Bahkan seperti buku gambar yang selalu aku gambar dan warnai sesuka hatiku. Tapi itu tak mungkin, karena ayah meninginkan ku untuk bekerja mengabdi pada masyarakat sebagai dokter. Intu keinginan ayah bukan aku.
Orang mengatakan aku sangat periang. Dan seperti hidup tanpa sebuah beban. Iyaaa... mungkin mereka tak mengetaui bahwa aku telah berdusta. Aku berdusta pada mereka dan pada diriku sendiri. Aku tak pernah merasa nyaman karena banyak hal yang aku tak sukai. Bahkan aku harus pura-pura bahagia sedangkan aku tak pernah bahagia. Aku harus pura-pura tersenyum padahal aku tak ingin tersenyum. Dan aku harus berpura-pura menyukai padahal aku tak pernah menyukai. Hanya aku mencoba terlihat bahagia agar mereka tak merasa tak bahagia. Hanya aku mencoba tersenyum agar mereka pun tersenyum. Hanya aku mencoba menyukai padahal aku tak menyukai sedikitpun. Aku memang pendusta yang ulung.
Awan gelap saat ini mencoba menutupi lapangan langit. Lagit yang cerah seakan tertutup awan gelap. Ini pasti akan terjadi hujan. Sungguh tak pernah aku nyaman untuk kuliah dan menuntut ilmu. Ilmu yang ada hanya menumpuk di fikiran yang tak mau berkembang ke luar. Mandet dan mampet. Sungguh sangat sulit. Untung saja, ada pria tengil itu. Hanya karena dia lah aku mencoba kuat berada di lingkaran ini.
Treeeeet ! treeeeeeet !!! Bunyi keras dari mobil menyentakku.
Yah, ini pun membosankan. Aku harus bertemu dengan pacarku. Rizki Predio anak konglomerat batu bara. Bahkan ia akan menjadi pewaris dari perusahaan terbesar batu bara. Mana aku peduli ! mau dia anak presiden pun aku tak peduli. Tapi , ayah sangat peduli. Ia memaksaku untuk berpacaran dengan kiki. Aku tak pernah bisa menolak. Semua yang dikatakan ayah selalu aku ikuti. Sesaat saat di tinggalkan bunda, hanya ayahlah yang aku punya. Tetapi, ingin rasanya mencekik pikiranku. Aku tak bisa menahan kejenuhan ini lebih lama. Pertama, aku harus masuk jurusan kedokteran bahkan aku tak pernah menyukainya. Yang kedua aku harus berpacaran dengan Riski salah satu anak teman bisnis ayah. Dan yang ketiga , sampai saat ini aku tak pernah tau.
Hari ini, acara kebudayaan dilorong Kampus. Aku sangat menunggu acara ini. Banyak hal yang menarik yang akan aku dapat. Bukan karena aku menyukai acara itu. Tetapi karena Aldino si pria tengil sebagai ketua BEM yang akan memberikan sambutan. Aku akan banyak mendapatkan fotonya dan mengamatinya lebih jelas. Ini menyenangkan. Aku selalu saja bertahan memendam perasaanku padanya. Bahkan aku kuat saat menumpuk rasa hingga 13 tahun lamanya.
Aku tersenyum menatapnya. Hanya pria itu yang membut aku bahagia siang dan malam. Bahkan aku tak ingin tertidur jika aku mampu. Aku terdiam sejenak mendengarkannya berpidato. Seperti pidato seorang raja yang di dengarkan rakyat-rakyatnya. Tetapi kali ini aku tak seperti biasa. Ada suatu hal yang ia ucapkan menyentuhku. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang tak menyukai apa yang ia tak suka katakanlah. Sesungguhnya itu lebih baik dari sekedar berpura-bura dan berbuat dusta.
Aku benar benar tersentak. Pikiranku bercabang. Bukankah aku pendusta yang hebat. Sangat hebat ! Semua jalan hiduku seperti sebuah drama belaka yang teratur dan terarah dengan baik. Apa aku harus menemui ayah dan mengatakan aku tak suka kedokteran aku hanya suka sastra. Aku harus pula mengatakan bahwa aku tak suka pacarku yang sebagai boneka ayah agar mempertahankan kekerabatan. Dan aku pun harus mengatakan bahwa aku tak suka kedustaan ini didepan teman-temanku. Dan aku pendusta yang sangat hebat saat aku menyembunyikan perasaanku pada Aldino. Tak pernah aku memutuskan semua keinginanku sendiri. Hingga saat ini, aku memang seorang pendusta.
Setelah berhari-hari aku memikirkan dengan sangat panjang. Aku pun memang harus tetap berjalan. Ku ketuk dan membuka dengan perlahan pintu kamar ayah. “Ayaaah...” ucapku sambil kikuk. Ayah hanya diam dan menghampiri. Aku tak kuasa membendung bendungan air mata saat aku menatap ayah. “Ayah, aku tak suka ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi seorang sastrawan” ujarku menunduk. Ayah terlihat sangat marah. “Mau jadi apa kamu nanti Alkina? Mau jadi pekerja seni yang hanya cukup dengan gaji pas pasan?” bentak ayah dengan marah. Aku hanya menangis. “Ayah , aku sudah sangat lelah dengan semua yang ayah desain untukku. Aku tak ingin menjadi dokter. Aku tak ingin berpacaran dengan Rizki. Bahkan aku tak ingin mengikuti perintah ayah lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk memilih. Jangan jadikan aku boneka seperti yang ayah mau. Aku anakmu yah, aku juga punya hak” jawabku dengan nada keras. Ayah mendekat. Sudah aku tau apa jawaban ayah. Pasti ia ingin menamparku dan mengusirku dari kamarnya. Tetapi, semua yang aku pikirkan itu salah. Ayah memelukku dan meminta maaf atas semua keegoisannya. Ayah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Tak pernah aku rasakan kehangatan ini. Bahkan saat itu umurku 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bunda.  
Aku bahagia. Selalu saja dia membantuku untuk selalu kuat. Bahkan kekuatan super yang tak pernah ku sangka untuk menentang ayah. Satu hal yang belum aku bereskan yaitu aku berdusta tak mengatakan yang sebenarnya. Aku harus menemui pria tengil itu. Dan mengatakan bahwa aku benar-benar menyukainya. Selama 13 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan aku benar-benar menyukainya.
Aldino. Tunggu ! teriakku dengan sangat kerasnya. Ia memutarkan badannya dan berbalik. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku gemetar! Lalu, aku pun mencoba untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia pun tersenyum. lalu mengatakan, bahwa ia pun sangat menyukaiku. Aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas. Ia mendekat dan mencium keningku. Dan kali ini, ini nyata. Aku bukan pendusta.



Menangkap Sayap Kenangan


Menangkap Sayap Kenangan


Aku kembali ke masa itu. Masa dimana aku pertama kali melihatnya. Melihat seseorang yang penuh dengan beribu teka teki. Bahkan aku menyukainya saat pandangan pertama berjumpa. Aku pun tak tau mengapa perasaan itu muncul dengan seakan menyambar detikku. Taukah bagaimana rasanya? Udara seakan menyejukan sampai kerelung hati, perasaan indahpun seolah seperti bunga yang berterbangan, bahkan mataku pun tak henti berkedip menatapnya. Dan berlanjutlah rangkaian cerita ini.
Saat itu, 12 mei 2009 pukul 15.47. Aku selalu mengingatnya. Tepat hujan yang sangat lebat yang mengguyur seisi kota. Bahkan hujan ini seakan menghancurkan payungku. Hari itu sungguh sangat aneh. Lalu, aku tersentak menatap seorang pria. Ia terpaku membaca sebuah buku sambil sesekali menyedot minumannya. Sangat serius seperti seorang ilmuan yang membaca rumusan praktikumnya. Bodoh ! bagaimana bisa ia membaca komik sambil keadaan hujan lebat? ujarku dalam hati. Tetapi saat itu, ada sesuatu tanda tanya besar difikiranku. Ia memang berbeda di bandingkan pria lainnya. Bahkan saat pertama kali aku melihatnya. Ia membuat aku sangat penasaran. Aku pernah melihatnya sedang bercengkrama dengan teman-temannya sambil membaca sebuah buku besar. Aku pernah pula melihatnya makan pun sambil membaca buku. Dan aku pernah keheranan melihatnya  saat ia berjalan sambil membaca buku. Selalu saja buku itu tak sedetikpun ia lepaskan dari pandangan matanya. Sangat aneh, bahkan aku dibuatnya keheranan. Pria itu bernama Hisol Amrundi Villao. Seorang mahasiswa jurusan desain. Dan ia kaka tingkat satu fakultasku.
“Hai ..” ucapku sambil tersenyum. Itulah pertama kalinya aku berusaha menyapanya. Ia hanya diam. Bahkan ia tak sedikitpun melirik padaku. Bagaimana bisa, ia mengacuhkan sapaanku? Padahal aku telah susah payah menyapanya. Hatikupun sangat kesal. Langkahku pun menuju tangga tepat di atas Gedung Isola. Tunggu ... ! dengan nada menyentak. Ku dengar seseorang mengatakan itu padaku. Aku pun berbalik sambil memegang payungku. “apa kau katakan?” ucapnya sambil meletakan buku di disampingnya. Aku pun melangkah mendekati pria itu. “maaf, aku hanya ingin menanyakan apa yang kamu lakukan disini? Ini hujan !” ucapku terpatah-patah. Ia pun tersenyum dan mencoba menjelaskannya. Aku menatapnya lagi. Tak ku pungkiri pria itu sangat tampan. Terlihat sederhana tetapi penuh dengan pesona. Aku pun tak begitu memperhatikan apa yang ia katakan. Terlalu terkesima ku menatapnya. Aku hanya ingat, Ia mengatakan bahwa ia sedang menangkap kenangan. Aku pun tak mengerti apa yang di ucapkannya. Dengan muka kebingungan akupun menghela nafas dan berjalan meninggalkannya. Tak ku sadari aku benar-benar meninggalkan dia dan membawa teka-teki besar.
Langkahku pun seakan sangat berat bahkan aku yang hanya terfokus memikirkannya tak menyadari bahwa saat ini seharusnya berada di kelas. Dengan fikiran yang bercabang pun aku berjalan tak tertuju. Berjalan perlahan dengan langkah kecil sambil fikiran yang tak terfokus. “Mengapa raut wajahnya selalu menghalangi pikiranku?” ucapku dalam hati. Saat itu, aku baru menyadari bahwa aku belum berkenalan dengannya. Bodoh bodoh bodoh ! hanya kata itu yang terus menerus ku ucapkan. Alhasil, kesempatan itu tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Dan aku membuang itu dengan sia-sia. Walupun aku telah mengetahui namanya, tetapi aku ingin dia mengetahui namaku juga. Aku seakan gila karena pria itu atau aku hanya mencari teka teki atas semua ini? Bahkan teka teki perasaanku pun belum jelas arah ungkapnya.
3 minggu berlalu tanpa sebuah cerita. Aku tak bertemunya selama beberapa minggu ini. Aku telah mencarinya kemana-mana. Bahkan, aku menunggu sang hujan datang saat ini sebagai saksi saat aku pertama kali berbicara dengannya. Itu sangat sia-sia. Ketika aku memutuskan untuk pulang ke kosanku, aku melihat pria itu. Aku pun mengucek mataku yang ku anggap itu halusinasiku. Ternyata itu memang benar. Pria tampan si pembaca buku dibawah pohon besar. Tapi apa yang ia lakukan di toko buku tua itu? Aku pun berperang dengan perasaanku. Apa aku harus masuk dan mencoba bertanya padanya? atau aku harus pulang dan membuang jauh-jauh rasa penasaran ini? Aku pun sangat kebingungan. Mondar-mandir halaman pertokoan sambil menggaruk kepala. Dan, ia keluar. Tepat berada dihadapanku. Dengan muka kebingungan aku hanya tersenyum. “ada apa ya? Ehmmm bukankah kau yang saat itu menyapaku di taman cinta?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab pertanyaannya. Akhirnya cerita ini pun berubah menjadi sesuatu yang lebih indah. Bahkan saat ini aku sedang bercengkrama membicarakan banyak hal dengannya. Sungguh tak ku duga.
Realita membuka satu persatu tabir rahasianya. Semua teka teki yang membuat tumpukan penasaran pun akhirnya terungkap. Aku baru menyadari apa yang ia katakan saat pertama kali aku bertemu dengannya, menangkap kenangan. Ia menceritakan bahwa tempat ini adalah tempat dimana pertama kalinya kakeknya bertemu seorang gadis yang sangat cantik saat itu. Tempat ini menjadi saksi dimana kekuatan cinta menaklukan tahta dan harta. Perjuangan antara seorang pria yang mencintai seorang wanita yang berbeda kasta. Seperti sebuah cerita skrip sinetro. Tetapi ini nyata. Pada saat itu, Gedung Isola yang dahulu pernah disebut Gedung Siliwangi menjadi saksi pengokohan cinta mereka. Menurut sejarah saat Pemilik villa itu dulunya adalah seorang konglomerat bernama Dominique Willem Berretty, seorang peranakan Jawa-Italia yang menetap di Indonesia. Kata Isola pada Villa Isola diambil dari kata Isolo yang berarti terpencil. Terlihat dari falsafah Berreti saat membangun villa ini yang berbunyi 'M Isolo E Vivo' yang berarti 'saya mengasingkan diri dan bertahan hidup dalam kesendirian. Tempat itu memang sepi walaupun keadaan sangat ramai. Aku pun tak begitu paham apa yang dikatakannya. Tetapi aku mencoba memahaminya. Bahwa ia sangat memegang teguh apa yang disebut kenangan. Bahkan, kenangan yang tak pernah ia rasakan.
Hari-haripun berubah menjadi sebuah pencarian tentang bagaimana kekuatan cinta dimasa lalu yang tak menyatu menjadi sebuah sejarah besar. Bahkan tempat ini menjadi tempat simbol kenangan suatu kota. Aku pun mencoba mempelajari teka teki itu. Buku demi buku aku harap bakal ada sesuatu yang real yang dapat terungkap. Cerita pun tak berakhir hanya dengan adanya cerita saat ini.
Selama beberapa bulan lamanya aku membaca bermacam-macam kumpulan sejarah. Akhirnya aku menemukan sebuah jawabannya. Jawaban dari rubik kisah cerita cinta di Gedung Isola. Salah satu karya arsitektur yang membentuk citra Kota Bandung adalah Villa Isola yang yang didesain CP Wolff Schoemaker. Bangunan yang didirikan tahun 1933 ini merupakan pembangkit memori sebagian besar masyarakat akan Kota Bandung. Kakek pria itu bernama R.Berto Maluall seorang asisten pekerja CP Wolff Schoemaker arsitek gedung isola. Cinta memang tak pernah melihat status kehidupan. Kakek pria itu pun jatuh cinta pada seorang gadis yang sangat cantik bernama Rialichandi Fround Melky keponakan dari D.W. Berreti pemilik isola. Cinta mereka itu ditentang oleh berbagai keadaan. Walaupun saat itu D.W. Berreti meninggal saat kecelakaan pesawat membuat perubahan tak pernah terjadi. Pertentangan antara kasta yang berbeda tak pernah bisa menyatu. Sungguh sangat ironis apabila aku berada di posisi itu. Bagaimana tidak, aku hanya bisa diam saat semuanya melarangku mencintai seorang pria yang benar-benar aku cintai.
Hari ini, gerimis pun datang. Sudah lama aku tak merasakan kehujanan. Hari-hariku tersita dengan mencari fakta atas sebuah tabir cinta yang belum terungkap. Kisah itu tak berhenti di saat itu. Rialichandi Fround Melky atau nenek pria itu pun mengandung. Karena seisi daerah itu mengetahui bahwa keponakan dari  D.W. Berreti mengandung dan berusaha memisahkan mereka berdua. Akhirnya takdir berkata lain, nenek pria itupun pergi ke surga membawa cintanya saat melahirkan anaknya. Aku terdiam memikirkan berbagai teka-teki dihadapanku. Sungguh aku dibuat keheranan atas semua bukti-bukti yang berada di depanku. Banyak hal yang tak pernah aku duga sebelumnya.
  Langakahku pun tersentak cepat. Aku ingin memberi tahu pria itu atas semua bukti yang ku dapat. Aku berjalan menuju taman cinta sebagai saksi kekokohan gedung isola. Dia tak ada. Hari demi hari aku menunggunya. Bahkan, aku tak pernah melihatnya lagi saat ini. Aku mencari tahu bagaimana bisa benar-benar ia tak ada. Tak ada satupun yang mengetahuinya. Bahkan orang-orang itu menyangkaku berhalusinasi tinggi. Tidak mungkin ucapku. Aku benar-benar bertemunya. Bahkan aku beberapa kali bertemunya. Dan apabila hujan bisa bersaksi ia pun akan mengucapkan bahwa aku tak bergurau.
Aku terdiam sejenak. Apa maksud semua ini. Aku telah susah payah mencari Ternyata aku baru menyadari bahwa Hisol Amrundi Villao hanyalah sebuh hayalanku. Bagaimana dengan isi sejarah yang ku cari saat ini?
Ku tutup perlahan buku besar ini. Hari ini tepat hujan gerimis saat aku menghentikan ceritaku. Cerita atas rangkaian kisah cinta masa sejarah akan selalu tersimpan dalam indahnya rangkaian kata ini. Berakhirlah kisah ini dalam detik tanganku. Menangkap sayap kenangan.