Senin, 31 Oktober 2011

Raksasa Rakus Dalam Mangkuk


Kelompok raksasa rakus mengerutu dalam lingkarannya. Membicarakan bagaimana bisa mereka diturunkan dengan paksa. Politikus kecil dalam lingkup daerah mangkuk mengikuti gerutunya. Rakyatpun adu mulut dengan tegas dan berani. Mereka seakan akan-akan sedang di tiarapkan ke lantai. Keduanya sama-sama bangkit dan beradu rasa cemas. Ada yang menyebarkan bukti dan mencari bukti. Raut wajah kedua belah pihak semakin meraung. Rakyat pun enggan mundur, bahkan kelompok raksasapun enggan menutup tempatnya. 

Ketua Kelompok Raksasa : Baik, sebentar. Aku akan mejelaskan sebentar. Tapi tunggu sebentar lagi. Kalian para rakyat tidak sebaiknya membabi buta pada kami. Kami akan menjelaskan semuanya. Jangan sampai rumah kami hancur.
Perwakilan rakyat        : mau kita tunggu sampai kapan? Kita lelah. Tindakan kalian itu telah membuat kami lelah. Bahkan selama 6 tahun kalian tidak bisa merubah ini semakin baik. Kami hanya minta kalian turun ! menjauhlan dari mangkuk kami. dimana tuan presiden? Kami ingin menemuinya.
Ketua Kelompok Raksasa : apabila itu yang kalian minta, kami akan melakukannya. Tetapi kita harus berbicara baik-baik. Apa tuntutan kalian, dan kami akan berusaha merubahnya. Ayo kita masuk ke dalam. Kita  harus menjelaskan sesuatu agar kalian tidak membabi buta seperti ini, ini pasti hanyalah kesalapahaman. Tuan presiden tidak bisa hadir begitu pula dengan para mentrinya.
Anggota Kelompok Raksasa : ia benar kata ketua, kalian jangan seperti ini. Ayo kita bermusyawarah saja. Tuan presiden sedang sakit, dya tak bisa di temui. Lihat saja,aku telah menghubunginya. Tetapi handphonenya tidak aktif. Mari kita meluruskan apa yang terbaik buat kita. Kalian telah mengusik rakyat lain yang sedang bekerja. Kita harus saling mengerti bukan?
Perwakilan Rakyat : oh tuan, mengerti ? apa kalian telah mengerti apa mau kami? Kami pun tidak bisa bekerja dengan nyaman. Agenda kerja kami bentrok, kami tak punya lahan, bahkan uang kami hanya menjadi lahapan kalian di makan malam. Kami tak bisa menghormati kalian, karena kalian tak pantas di hormati.
Rakyat                    :  benaaaaaar , KAMI MINTA KALIAN TURUN !
Anggota Kelompok Raksasa : cukup! Kami telah naik darah. 

Raksasa itu memberikan acuannya. Anggota kelompok raksasa seperti memberikan isyarat tajam pada ketua. Rasanya banyak penindasan mulai bermunculan. Kekuasaan itu berada pada lingkup mangkuk. Uang terselip dengan mudah tetapi tersalur dengan sulitnya. Rakyat marah! Sepertinya wajah mereka tidak menggambarkan ketakutan, tetapi itu terlihat bahwa mereka takut dengan kami. Rakyat memberi waktu pada ketua untuk memanggil tuan presiden. Raksasapun mulai lelah dengan tuntutan kami.
Perwakilan Rakyat : Keluaaaaar kau !
Ketua Kelompok Raksasa : Ia , tenang semuanya. Tuan presiden tidak dapat kesini, tetapi aku telah menyuruh mentrinya untuk menjadi wakil kalian. Tunggu sebentar.
Perwakilan Rakyat : Jangan banyak bicara. Cepat suruh mereka kemari. Alangkah lucunya tuan-tuan ini, seperti tidak ada apa-apa. Mengaku manusia terhormat tetapi bersikap dengan tidak hormat.
Anggota Kelompok Raksasa : Jaga mulut kalian! Kami telah berusaha menyruhnya datang. Tetapi tuan presiden tidak bisa kemari karena sedang sakit, masa kalian tega menyuruh oarang sakit untuk kemari?
Rakyat : Kalian pun sangat tega melantarkan kami, bahkan kami tak punya tempat bernaung lagi. Koruptoooooooooooooor ! (dengan nada marah)
Mangkuk di penuhi jeritan, rakyat mulai berontak. Anggota kelompok raksasa memanggil para kawan. Beberapa diantaranya sebagai saksi dan teman. Helai kertas di genggam seakan kekuatan. Lalu mentri memasuki daerah kekuasaan, bermaksud menjelaskan skenario kedudukan.
Mentri Presiden : Kita lakukan musyawarah saja. Kalian jelaskan duduk perkaranya dan kami akan mendengar apa yang kalian minta. Kita disini harus tenang.
Perwakilan Rakyat : Terimakasih atas kedatangannya tuan, kamu hanya sebagai konsumen merasa di kecewakan, bagaimana tidak? Kami tidak ada lahan bekerja, bahkan jadwal kami pun bentrok, bagaimana tindak lanjut kalian? Sedangkan masalah uang saja mereka meminta dengan segera seperti kami para penghutang, tetapi apa yang mereka kasih? Tidak ada bukan? Mereka hanya mengisi kantung-kantungnya tengah malam. Kami meminta mereka turun !
Rakyat : TURUUUUUN ! TURUUUUN ! TURUUUUUUUUN !!!!
Mentri Presiden : Baiklah, tidak segampang itu. Kita butuh proses yang panjang untuk mencari gantinya. Bagaimanpun kita harus dapat rundingan dengan para tetua.
Ketua Anggota Raksasa : Baik semuanya, saya siap untuk di turunkan apabila memang saya salah. Tetapi saya akan mencari bukti, bahwa sesuangguhnya yg kalian katakan itu tidak semuanya benar. Maafkan kami!
Anggota Raksasa : BENAR! Kami pun meminta maaf apabila kami selama ini tidak mendengarkan apa keluhan kalian. Kami siap mundur. 

                Jeritan kegembiraan menggambarkan keadaan kepuasan. Rakyat pun bersyukur atas revolusi dalam kekuasaan. Para raksasa melepaskan wewenang. Seakan ingin tidur tenang dalam beberapa detik kegelapan. Celakalah mereka bila menganggap ini telah selesai, ini akan membuat tidak tenang. Mereka tidak akan tenang, bahkan dalam mangkukpun mereka ditendang. Hanya ada satu ketenangan, saat mereka beristirahat dan mempertanggungjawabkan pada tuhan.

Sabtu, 30 April 2011

Darah di Titik Akhir


Titik awal. Darah ini saksiku. Saat aku lahir dan saat aku mati. Gumpalan yang kental bersatu dengan nadiku. Di tubuhku terdapat darah. Darah yang suci. Darah yang mengalir terus menerus. Dan darah yang diciptakan oleh tuhan dari campuran cinta mereka. Darah ini saksi. Saat awal, tengah, dan akhir. Saat hidup dan mati.
Darah itu merah. Gambaran ke kuatanku. Gambaran ke hebatanku. Dan gambaran tuhan untukku. Merah itu berani. Seperti halnya aku mengejar hidupku. Aku memang pemberani. Karena aku terlahir dari darah mereka. Tak pernah ku melupakannya. Bahkan, kekuatanku hanya akan tunduk pada mereka. Darah ini hasil mereka. Karena darah ini, aku ada.
Saat darah di titik tengah. Darah? Hela nafasku tak beraturan. Mataku diam, tak melirik. Bahkan aku hanya melihat darah. Ku rasakan detakku mengerut. Tak kencang. Tak seperti yang selalu ku rasakan. Darah ini terus mengalir. Banyak bayangan hitam yang akhirnya menutupi cela mataku. Pekat. Hanya si hitam pekat yang terlihat. Ku dengar suara semu dalam sekitar. Hanya saja, aku tak dapat bangun. Aku tau, darah ini hilang. Aku berdarah !
Nadiku mengintip. Aku tau aku memang berdarah. Aku tak dapat menggapai nadiku. Bahkan aku hanya terpaku terbaring. Saat nanti aku hilang. Aku tak bernyawa. Seolah aku mayat belaka. Aku belum mati, walau aku berdarah. Terniang satu kata dari rolong telinga. Darah. Aku banyak menghilangkan darah. Aku akan hilang karena aku kehilangan darah. Saat ini aku belum hilang, mungkin beberapa menit lagi atau terhitung detik. Bertahan mungkin takkan bisa. Aku sudah puas hidup dengan darah. Aku tau bahwa aku butuh darah. Bahkan darah ketika ia melahirkanku. Darah mereka. Ketika ini jalanku, aku akan pasrah.
Darah itu cair. Darah akan mengalir. Darah memang mengalir! Tak pernah ku merasakan untuk menghentikan alirannya. Dunia ini memang mengalir apa adanya karena dan atas ijinnya. Hidupku pun terus mengalir. Seperti halnya air. Saat aku berserah padanya. Aku tau, darah itu miliknya. Akan ku kembalikan suatu saat nanti. Mungkin saat aku siap melepaskannya. Saat ini mungkin saatnya.
Darah di titik akhir. Aku menghela nafas. Darahku akan habis. Sama seperti berhentinya detakku. Darah ini darah terakhirku. Titik terakhir. Tak pernah ku merasa menyesal. Walau saat ini darah terakhir, akan ku berikan yang terbaik untuknya. Dan untuk mereka. Akan ku kembalikan darahku. Aku hanya meminjam darah mereka. Sama halnya aku meminjam dunia ini. Saatnya darah akan habis, aku akan terbaring tanpa darah. Ini darah terakhirku. Ku serahkan dan ku tutup darahku.

Jumat, 29 April 2011

aku bukan PENDUSTA !!!


Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Aaah matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas.
Bruuuuuuug ! dan ... sekali lagi itu hanya mimpi.
Alarm ku berbunyi. Tepat jam 07.15. Dan selalu saja telat untuk pergi ke kampus. “Ahhh , sial ! bagaimana bisa aku terbangun saat detik-detik terakhir? Sungguh sangat bodoh !” ucapku sambil memeluk guling. Aku pun berlari memasuki toilet. Tak pernah aku seriang ini. Yah, bagaimana tidak riang. Mimpi itu sangat indah. Aku bertemu pria tengil itu didalam mimpi. Ah, sungguh tak ku duga. Tetapi aku bahagia. Syalalalallala (bernyanyi).
Alkina Mayore. Dosen memanggil namaku dengan sangat kerasnya. “Alkina !!! banguuuun , keluar dari kelasku !” ucap si Botak Tua. Lagi-lagi aku dikeluarkan dari kelas karena aku tertidur saat pelajaran berlangsung. Ahhh , sial. Tapi aku mencoba tersenyum. Aku pun memutuskan untuk pergi kekantin karena aku sangat kehausan. Ketika aku memegang sebotol air mineral. Detakku pun berdetak lagi. Aku tau. Bahkan aku sangat tau siapa yang berada tepat di sampingku. Aldiano Ferdian. Si tengil yang satu bulan terakhir mendatangi mimpiku. Dari ujung kaki sampai kepala aku selalu tak pernah bisa tak mengingatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku pun melirik padanya dan tersenyum. “hai ...” ucapku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan aku hanya menatapnya walaupun saat itu ia sudah pergi.
Aku menyukainya saat usiaku masih sangat kecil. Tepat 8 juni 1997 saat menginjak usiaku 6 tahun. Aku bertemunya saat kami mendaftar ke SD yang sama. Sungguh sangat konyol saat itu aku menatapnya tajam. Seperti seseorang yang tertarik akan sesuatu hal. Padahal saat itu aku baru berumur 6 tahun. Aku sangat senang saat aku bertemu dengannya. Ia memang sangat tampan saat itu. Bahkan tak pernah ku sangka sudah selama 13 tahun aku menyimpan perasaan ini padanya. Saat ini, perasaan itu masih sangat sama. Tetapi ia mungkin tak pernah merasakan yang aku rasakan.
Alkina .. alkina ! selalu saja aku tak perdulikan orang lain menyapaku. Aku sangat bosan. Mengapa pria hidung belang yang kegenitan ini menyapaku terus menerus. Aku harap, suatu saat nanti pria tengil itu yang memanggilku. Dan aku tak akan pernah menolak untuk tak membalikkan kepalaku sekedar melihatnya. Tetapi, saat ini. Fansku di kampuslah yang selalu tebar pesona yang berusaha mendekatiku. Aku tak pernah hiraukan.
Dianka, Rica, dan Alunka. Mereka teman terbaikku. Dari mereka aku di berikan banyak hal yang penting bahkan aku tak pernah aku tau. Mereka yang selalu menguatkan langkahku. Karena aku tak menyukai menjadi seorang dokter. Aku harus mengambil jurusan kampus yang aku tak pernah sukai. Bagaimana bisa, aku yang takut darah ini menjadi dokter. Kalau saja, aku bisa memilih. Aku ingin menjadi seorang penulis. Karena dari tulisanlah aku dapat menceritakan hal yang selalu membuat hari-hariku berwarna. Bahkan seperti buku gambar yang selalu aku gambar dan warnai sesuka hatiku. Tapi itu tak mungkin, karena ayah meninginkan ku untuk bekerja mengabdi pada masyarakat sebagai dokter. Intu keinginan ayah bukan aku.
Orang mengatakan aku sangat periang. Dan seperti hidup tanpa sebuah beban. Iyaaa... mungkin mereka tak mengetaui bahwa aku telah berdusta. Aku berdusta pada mereka dan pada diriku sendiri. Aku tak pernah merasa nyaman karena banyak hal yang aku tak sukai. Bahkan aku harus pura-pura bahagia sedangkan aku tak pernah bahagia. Aku harus pura-pura tersenyum padahal aku tak ingin tersenyum. Dan aku harus berpura-pura menyukai padahal aku tak pernah menyukai. Hanya aku mencoba terlihat bahagia agar mereka tak merasa tak bahagia. Hanya aku mencoba tersenyum agar mereka pun tersenyum. Hanya aku mencoba menyukai padahal aku tak menyukai sedikitpun. Aku memang pendusta yang ulung.
Awan gelap saat ini mencoba menutupi lapangan langit. Lagit yang cerah seakan tertutup awan gelap. Ini pasti akan terjadi hujan. Sungguh tak pernah aku nyaman untuk kuliah dan menuntut ilmu. Ilmu yang ada hanya menumpuk di fikiran yang tak mau berkembang ke luar. Mandet dan mampet. Sungguh sangat sulit. Untung saja, ada pria tengil itu. Hanya karena dia lah aku mencoba kuat berada di lingkaran ini.
Treeeeet ! treeeeeeet !!! Bunyi keras dari mobil menyentakku.
Yah, ini pun membosankan. Aku harus bertemu dengan pacarku. Rizki Predio anak konglomerat batu bara. Bahkan ia akan menjadi pewaris dari perusahaan terbesar batu bara. Mana aku peduli ! mau dia anak presiden pun aku tak peduli. Tapi , ayah sangat peduli. Ia memaksaku untuk berpacaran dengan kiki. Aku tak pernah bisa menolak. Semua yang dikatakan ayah selalu aku ikuti. Sesaat saat di tinggalkan bunda, hanya ayahlah yang aku punya. Tetapi, ingin rasanya mencekik pikiranku. Aku tak bisa menahan kejenuhan ini lebih lama. Pertama, aku harus masuk jurusan kedokteran bahkan aku tak pernah menyukainya. Yang kedua aku harus berpacaran dengan Riski salah satu anak teman bisnis ayah. Dan yang ketiga , sampai saat ini aku tak pernah tau.
Hari ini, acara kebudayaan dilorong Kampus. Aku sangat menunggu acara ini. Banyak hal yang menarik yang akan aku dapat. Bukan karena aku menyukai acara itu. Tetapi karena Aldino si pria tengil sebagai ketua BEM yang akan memberikan sambutan. Aku akan banyak mendapatkan fotonya dan mengamatinya lebih jelas. Ini menyenangkan. Aku selalu saja bertahan memendam perasaanku padanya. Bahkan aku kuat saat menumpuk rasa hingga 13 tahun lamanya.
Aku tersenyum menatapnya. Hanya pria itu yang membut aku bahagia siang dan malam. Bahkan aku tak ingin tertidur jika aku mampu. Aku terdiam sejenak mendengarkannya berpidato. Seperti pidato seorang raja yang di dengarkan rakyat-rakyatnya. Tetapi kali ini aku tak seperti biasa. Ada suatu hal yang ia ucapkan menyentuhku. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang tak menyukai apa yang ia tak suka katakanlah. Sesungguhnya itu lebih baik dari sekedar berpura-bura dan berbuat dusta.
Aku benar benar tersentak. Pikiranku bercabang. Bukankah aku pendusta yang hebat. Sangat hebat ! Semua jalan hiduku seperti sebuah drama belaka yang teratur dan terarah dengan baik. Apa aku harus menemui ayah dan mengatakan aku tak suka kedokteran aku hanya suka sastra. Aku harus pula mengatakan bahwa aku tak suka pacarku yang sebagai boneka ayah agar mempertahankan kekerabatan. Dan aku pun harus mengatakan bahwa aku tak suka kedustaan ini didepan teman-temanku. Dan aku pendusta yang sangat hebat saat aku menyembunyikan perasaanku pada Aldino. Tak pernah aku memutuskan semua keinginanku sendiri. Hingga saat ini, aku memang seorang pendusta.
Setelah berhari-hari aku memikirkan dengan sangat panjang. Aku pun memang harus tetap berjalan. Ku ketuk dan membuka dengan perlahan pintu kamar ayah. “Ayaaah...” ucapku sambil kikuk. Ayah hanya diam dan menghampiri. Aku tak kuasa membendung bendungan air mata saat aku menatap ayah. “Ayah, aku tak suka ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi seorang sastrawan” ujarku menunduk. Ayah terlihat sangat marah. “Mau jadi apa kamu nanti Alkina? Mau jadi pekerja seni yang hanya cukup dengan gaji pas pasan?” bentak ayah dengan marah. Aku hanya menangis. “Ayah , aku sudah sangat lelah dengan semua yang ayah desain untukku. Aku tak ingin menjadi dokter. Aku tak ingin berpacaran dengan Rizki. Bahkan aku tak ingin mengikuti perintah ayah lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk memilih. Jangan jadikan aku boneka seperti yang ayah mau. Aku anakmu yah, aku juga punya hak” jawabku dengan nada keras. Ayah mendekat. Sudah aku tau apa jawaban ayah. Pasti ia ingin menamparku dan mengusirku dari kamarnya. Tetapi, semua yang aku pikirkan itu salah. Ayah memelukku dan meminta maaf atas semua keegoisannya. Ayah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Tak pernah aku rasakan kehangatan ini. Bahkan saat itu umurku 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bunda.  
Aku bahagia. Selalu saja dia membantuku untuk selalu kuat. Bahkan kekuatan super yang tak pernah ku sangka untuk menentang ayah. Satu hal yang belum aku bereskan yaitu aku berdusta tak mengatakan yang sebenarnya. Aku harus menemui pria tengil itu. Dan mengatakan bahwa aku benar-benar menyukainya. Selama 13 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan aku benar-benar menyukainya.
Aldino. Tunggu ! teriakku dengan sangat kerasnya. Ia memutarkan badannya dan berbalik. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku gemetar! Lalu, aku pun mencoba untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia pun tersenyum. lalu mengatakan, bahwa ia pun sangat menyukaiku. Aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas. Ia mendekat dan mencium keningku. Dan kali ini, ini nyata. Aku bukan pendusta.



Aku Bukan Pendusta !!!


Aku Bukan Pendusta !!!

Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Aaah matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas.
Bruuuuuuug ! dan ... sekali lagi itu hanya mimpi.
Alarm ku berbunyi. Tepat jam 07.15. Dan selalu saja telat untuk pergi ke kampus. “Ahhh , sial ! bagaimana bisa aku terbangun saat detik-detik terakhir? Sungguh sangat bodoh !” ucapku sambil memeluk guling. Aku pun berlari memasuki toilet. Tak pernah aku seriang ini. Yah, bagaimana tidak riang. Mimpi itu sangat indah. Aku bertemu pria tengil itu didalam mimpi. Ah, sungguh tak ku duga. Tetapi aku bahagia. Syalalalallala (bernyanyi).
Alkina Mayore. Dosen memanggil namaku dengan sangat kerasnya. “Alkina !!! banguuuun , keluar dari kelasku !” ucap si Botak Tua. Lagi-lagi aku dikeluarkan dari kelas karena aku tertidur saat pelajaran berlangsung. Ahhh , sial. Tapi aku mencoba tersenyum. Aku pun memutuskan untuk pergi kekantin karena aku sangat kehausan. Ketika aku memegang sebotol air mineral. Detakku pun berdetak lagi. Aku tau. Bahkan aku sangat tau siapa yang berada tepat di sampingku. Aldiano Ferdian. Si tengil yang satu bulan terakhir mendatangi mimpiku. Dari ujung kaki sampai kepala aku selalu tak pernah bisa tak mengingatnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku pun melirik padanya dan tersenyum. “hai ...” ucapku. Ia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan aku hanya menatapnya walaupun saat itu ia sudah pergi.
Aku menyukainya saat usiaku masih sangat kecil. Tepat 8 juni 1997 saat menginjak usiaku 6 tahun. Aku bertemunya saat kami mendaftar ke SD yang sama. Sungguh sangat konyol saat itu aku menatapnya tajam. Seperti seseorang yang tertarik akan sesuatu hal. Padahal saat itu aku baru berumur 6 tahun. Aku sangat senang saat aku bertemu dengannya. Ia memang sangat tampan saat itu. Bahkan tak pernah ku sangka sudah selama 13 tahun aku menyimpan perasaan ini padanya. Saat ini, perasaan itu masih sangat sama. Tetapi ia mungkin tak pernah merasakan yang aku rasakan.
Alkina .. alkina ! selalu saja aku tak perdulikan orang lain menyapaku. Aku sangat bosan. Mengapa pria hidung belang yang kegenitan ini menyapaku terus menerus. Aku harap, suatu saat nanti pria tengil itu yang memanggilku. Dan aku tak akan pernah menolak untuk tak membalikkan kepalaku sekedar melihatnya. Tetapi, saat ini. Fansku di kampuslah yang selalu tebar pesona yang berusaha mendekatiku. Aku tak pernah hiraukan.
Dianka, Rica, dan Alunka. Mereka teman terbaikku. Dari mereka aku di berikan banyak hal yang penting bahkan aku tak pernah aku tau. Mereka yang selalu menguatkan langkahku. Karena aku tak menyukai menjadi seorang dokter. Aku harus mengambil jurusan kampus yang aku tak pernah sukai. Bagaimana bisa, aku yang takut darah ini menjadi dokter. Kalau saja, aku bisa memilih. Aku ingin menjadi seorang penulis. Karena dari tulisanlah aku dapat menceritakan hal yang selalu membuat hari-hariku berwarna. Bahkan seperti buku gambar yang selalu aku gambar dan warnai sesuka hatiku. Tapi itu tak mungkin, karena ayah meninginkan ku untuk bekerja mengabdi pada masyarakat sebagai dokter. Intu keinginan ayah bukan aku.
Orang mengatakan aku sangat periang. Dan seperti hidup tanpa sebuah beban. Iyaaa... mungkin mereka tak mengetaui bahwa aku telah berdusta. Aku berdusta pada mereka dan pada diriku sendiri. Aku tak pernah merasa nyaman karena banyak hal yang aku tak sukai. Bahkan aku harus pura-pura bahagia sedangkan aku tak pernah bahagia. Aku harus pura-pura tersenyum padahal aku tak ingin tersenyum. Dan aku harus berpura-pura menyukai padahal aku tak pernah menyukai. Hanya aku mencoba terlihat bahagia agar mereka tak merasa tak bahagia. Hanya aku mencoba tersenyum agar mereka pun tersenyum. Hanya aku mencoba menyukai padahal aku tak menyukai sedikitpun. Aku memang pendusta yang ulung.
Awan gelap saat ini mencoba menutupi lapangan langit. Lagit yang cerah seakan tertutup awan gelap. Ini pasti akan terjadi hujan. Sungguh tak pernah aku nyaman untuk kuliah dan menuntut ilmu. Ilmu yang ada hanya menumpuk di fikiran yang tak mau berkembang ke luar. Mandet dan mampet. Sungguh sangat sulit. Untung saja, ada pria tengil itu. Hanya karena dia lah aku mencoba kuat berada di lingkaran ini.
Treeeeet ! treeeeeeet !!! Bunyi keras dari mobil menyentakku.
Yah, ini pun membosankan. Aku harus bertemu dengan pacarku. Rizki Predio anak konglomerat batu bara. Bahkan ia akan menjadi pewaris dari perusahaan terbesar batu bara. Mana aku peduli ! mau dia anak presiden pun aku tak peduli. Tapi , ayah sangat peduli. Ia memaksaku untuk berpacaran dengan kiki. Aku tak pernah bisa menolak. Semua yang dikatakan ayah selalu aku ikuti. Sesaat saat di tinggalkan bunda, hanya ayahlah yang aku punya. Tetapi, ingin rasanya mencekik pikiranku. Aku tak bisa menahan kejenuhan ini lebih lama. Pertama, aku harus masuk jurusan kedokteran bahkan aku tak pernah menyukainya. Yang kedua aku harus berpacaran dengan Riski salah satu anak teman bisnis ayah. Dan yang ketiga , sampai saat ini aku tak pernah tau.
Hari ini, acara kebudayaan dilorong Kampus. Aku sangat menunggu acara ini. Banyak hal yang menarik yang akan aku dapat. Bukan karena aku menyukai acara itu. Tetapi karena Aldino si pria tengil sebagai ketua BEM yang akan memberikan sambutan. Aku akan banyak mendapatkan fotonya dan mengamatinya lebih jelas. Ini menyenangkan. Aku selalu saja bertahan memendam perasaanku padanya. Bahkan aku kuat saat menumpuk rasa hingga 13 tahun lamanya.
Aku tersenyum menatapnya. Hanya pria itu yang membut aku bahagia siang dan malam. Bahkan aku tak ingin tertidur jika aku mampu. Aku terdiam sejenak mendengarkannya berpidato. Seperti pidato seorang raja yang di dengarkan rakyat-rakyatnya. Tetapi kali ini aku tak seperti biasa. Ada suatu hal yang ia ucapkan menyentuhku. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang tak menyukai apa yang ia tak suka katakanlah. Sesungguhnya itu lebih baik dari sekedar berpura-bura dan berbuat dusta.
Aku benar benar tersentak. Pikiranku bercabang. Bukankah aku pendusta yang hebat. Sangat hebat ! Semua jalan hiduku seperti sebuah drama belaka yang teratur dan terarah dengan baik. Apa aku harus menemui ayah dan mengatakan aku tak suka kedokteran aku hanya suka sastra. Aku harus pula mengatakan bahwa aku tak suka pacarku yang sebagai boneka ayah agar mempertahankan kekerabatan. Dan aku pun harus mengatakan bahwa aku tak suka kedustaan ini didepan teman-temanku. Dan aku pendusta yang sangat hebat saat aku menyembunyikan perasaanku pada Aldino. Tak pernah aku memutuskan semua keinginanku sendiri. Hingga saat ini, aku memang seorang pendusta.
Setelah berhari-hari aku memikirkan dengan sangat panjang. Aku pun memang harus tetap berjalan. Ku ketuk dan membuka dengan perlahan pintu kamar ayah. “Ayaaah...” ucapku sambil kikuk. Ayah hanya diam dan menghampiri. Aku tak kuasa membendung bendungan air mata saat aku menatap ayah. “Ayah, aku tak suka ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi seorang sastrawan” ujarku menunduk. Ayah terlihat sangat marah. “Mau jadi apa kamu nanti Alkina? Mau jadi pekerja seni yang hanya cukup dengan gaji pas pasan?” bentak ayah dengan marah. Aku hanya menangis. “Ayah , aku sudah sangat lelah dengan semua yang ayah desain untukku. Aku tak ingin menjadi dokter. Aku tak ingin berpacaran dengan Rizki. Bahkan aku tak ingin mengikuti perintah ayah lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk memilih. Jangan jadikan aku boneka seperti yang ayah mau. Aku anakmu yah, aku juga punya hak” jawabku dengan nada keras. Ayah mendekat. Sudah aku tau apa jawaban ayah. Pasti ia ingin menamparku dan mengusirku dari kamarnya. Tetapi, semua yang aku pikirkan itu salah. Ayah memelukku dan meminta maaf atas semua keegoisannya. Ayah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Sangat mencintaiku. Tak pernah aku rasakan kehangatan ini. Bahkan saat itu umurku 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bunda.  
Aku bahagia. Selalu saja dia membantuku untuk selalu kuat. Bahkan kekuatan super yang tak pernah ku sangka untuk menentang ayah. Satu hal yang belum aku bereskan yaitu aku berdusta tak mengatakan yang sebenarnya. Aku harus menemui pria tengil itu. Dan mengatakan bahwa aku benar-benar menyukainya. Selama 13 tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan aku benar-benar menyukainya.
Aldino. Tunggu ! teriakku dengan sangat kerasnya. Ia memutarkan badannya dan berbalik. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku gemetar! Lalu, aku pun mencoba untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia pun tersenyum. lalu mengatakan, bahwa ia pun sangat menyukaiku. Aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Dia mendekat. Menatap dengan tatapan tajam. Tak ku pungkiri, detakku pun berdetak dengan sangat kencangnya. Tak kuasa ku melirik. Aku hanya mencoba membalas tatapnya. Ia semakin dekat. Semakin keras pula detak jantungku. Matanya pun seolah menangkap tatapanku. Tangannya menarikku. Akhirnya ia benar-benar di depanku. Aku kikuk, hanya senyum yang dapat ku balas. Ia mendekat dan mencium keningku. Dan kali ini, ini nyata. Aku bukan pendusta.